Dalam mengarungi kehidupan ini kita sering mengalami berbagai kesulitan. Sebagaimana wahyu Allâh:
“Dan pasti akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, maka berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS 2:155)
Secara garis besar ada 2 sikap manusia dalam menghadapi musibah dan bencana:
PERTAMA
Bersabar, pasrah, tawakkal, dan sebagian lagi justru bersyukur karena menjadikannya sebagai kesempatan untuk melebur dosa dan mengumpulkan pahala. Sebab, bagi orang yang terakhir ini, musibah adalah salah satu cara paling mudah untuk meningkatkan kedudukannya di sisi Allâh. Menurut mereka, emas harus dibakar dan dipukul untuk memurnikannya.
KEDUA
Marah, tidak terima, mencari kambing hitam dan mulai menyalahkan Allâh.
Bila kita mau memahami ayat di atas, seharusnya kita ridha (legawa) dengan mushibah yang menimpa kita, dan tidak mempertanyakan takdir Allâh. Mengapa saya yang kena musibah? Mengapa saya yang dipilih-Nya? Mengapa saat ini? Mengapa tidak yang lain saja? Mengapa …? Mengapa …?
Pertanyaan semacam itu sudah pasti tidak ada jawabannya. Tidak ada gunanya mempertanyakan takdir, tidak ada gunanya melawan takdir, karena kita pasti dikalahkannya. Yang harus kita lakukan bukan mempertanyakan mengapa … mengapa…, tapi apa … apa yang sebaiknya kita lakukan sehubungan dengan musibah ini.
Banyak sekali mereka yang terkena musibah tapi segera bangkit kembali. Kita juga sebenarnya tahu bahwa musibah sering kali berubah menjadi berkah. Banyak sekali mereka yang cacat tubuh tapi tidak pernah mempersoalkan mengapa mereka buta, mengapa mereka tidak punya tangan, mengapa mereka tidak punya kaki dan lain-lain. Mereka berpikir apa yang sebaiknya mereka lakukan dengan keadaan tubuh seperti demikian itu, akhirnya sebagian dari mereka menjadi olah ragawan, pendidik, pemusik, atau pelukis yang andal.
Semua biografi orang-orang besar penuh dengan kesulitan hidup yang luar biasa pada awalnya. Namun, keuletan dan kesabaran telah menyelamatkan mereka dari kehancuran. Mereka selalu memusatkan perhatian dan usaha pada solusi; tidak mencari kambing hitam.
Para rohaniawan justru berpendapat bahwa segala sesuatu itu terletak pada lawannya: kebahagiaan terletak dalam kesedihan, untung dalam rugi, kekuatan dalam kelembutan/kelemahan, kehormatan dalam kehinaan, kehidupan dalam kematian, kemenangan dalam kekalahan, kekuasaan dalam ketidakberdayaan, dst.
Musibah sering kali membuahkan hasil yang menakjubkan dengan lewatnya waktu. Musibah menjadi sarana Allâh untuk mendidik hamba-Nya yang hasilnya baru mereka ketahui setelah 1 tahun (seperti program D1), atau 3 tahun (seperti program D3), atau 4/5 tahun (seperti program S1). Mereka yang tidak sabar sulit mendapatkan keberkahan ini.
Dalam Look! This is Love Annemarie Schimmel menerjemahkan puisi Rumi:
Bukankah Yusuf terpisah dari ayahnya
dengan sedih, air mata dan keputusasaan?
Bukankah dengan perjalanan itu ia meraih
kerajaan dan keuntungan?
Bukankan Nabi hijrah ke Madinah yang jauh, Sobat?
Dan di situ ia temukan kerajaan baru
dan memerintah ratusan wilayah di daratan?
Kau kekurangan satu kaki ‘tuk melangkahkan perjalanan?
Lakukanlah saja perjalanan dalam dirimu!
Seperti tambang rubi menerima seberkas sinar mentari,
keluarlah dari dirimu; perjalanan itu akan
mengantarmu kepada diri sendiri.
Mengantarmu pada perubahan
dari debu menjadi mas murni.
Kata-Kata Bijak:
Setiap orang memiliki problem, beberapa orang lebih pandai dalam menyembunyikannya.
Bila seorang hamba membandingkan nikmat Allâh yang tak terhitung banyaknya dengan musibah-musibah yang menimpanya, maka musibah-musibah itu menjadi tak berarti.
Hidup terdiri dari 10% yang terjadi pada kita, dan 90% reaksi kita terhadap kejadian itu. (Dennis P. Kimbro)
Sakit fisik merupakan sistem alarm yang baik, karena ia dapat menghindarkan kita dari kesakitan yang lebih parah sambil mengingatkan, “Sebaiknya kau mengganti apa yang kau lakukan.” Sakit psychic (kejiwaan) merupakan sistem alarm yang istimewa untuk menghindarkan kesakitan yang lebih buruk sambil mengingatkan, “Sebaiknya kau mengubah cara berpikirmu.”
Keputusan yang benar berasal dari pengalaman, pengalaman yang baik berasal dari keputusan yang salah.
(eyang husein)
Comments
Post a Comment